Judul: Tidak Ada New
York Hari Ini
Pengarang: M. Aan
Mansyur
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Tebal: 120 halaman
“...
Meriang. Meriang. Aku Meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang.
...” – Tidak Ada New
York Hari Ini
Dunia perbukuan heboh bersamaan
dengan meledaknya Ada Apa Dengan Cinta? 2. Tidak Ada New York Hari Ini laris
manis di pasaran. Baik itu oleh mereka yang memang penggemar tulisan Aan
Mansyur, efek habis menonton filmnya, atau sekadar penasaran dengan hype. Saya pun ikut tertarik sejak linimasa
Twitter dan Instagram bertebaran tentang buku ini.
Saya punya hubungan yang cukup unik
dengan buku puisi. Kalian nyadar nggak kalau urusan perbukuan ini agak mirip
dengan urusan busana? Ada buku yang genrenya memang zona nyamanmu (kalau dalam
busana bisa dianalogikan seperti kaos bulukan, sendal jepit, daster). Ada pula
jenis buku yang ketertarikanmu terhadapnya hanya karena banyak orang yang
bilang buku tersebut keren. Dan kadar kekerenanmu meningkat jika kamu juga
membacanya. Sama seperti skinny jeans, jogger
pants, high heels, atau gincu merah merona, atau apalah yang sedang menjadi
tren, kalau mereka ternyata cocok buatmu dan kamu nggak terlalu risih
memakainya, itu bagus. Tapi kalau ternyata malah membuatmu semakin nggak
nyaman. Tak mengapa kok, tingkat kekerenan tidak berpengaruh dengan kadar
kebahagiaan. Nah, buat saya, buku puisi termasuk ke kategori yang terakhir. Ribet
ya penjelasan saya? Semoga ngerti garis besarnya deh. Hahaha. Seorang teman (yang
penggemar puisi) bahkan pernah menertawakan saya ketika saya bilang kalau niat saya
beli dan baca Hujan Bulan Juni adalah untuk pamer di medsos. *maafkan saya Pak
Sapardi x(*
“Di bawah langit yang sama, ada dua dunia berbeda.
Jarak yang membentang di antaranya menciptakan
bahasa baru untuk kita. Tiap kata yang kau ucapkan
selalu berarti kapan. Tiap kata yang
aku kecupkan
melulu berarti akan.” – Bahasa Baru
0 komentar:
Posting Komentar